Tulungagung || gayortinews.com – Dalam perhelatan sakral tingkat nasional dalam tubuh pmii ini (Muspimnas) yang di selenggarakan di salah satu kampus besar di daerah tulungagung yang dibuka pada 17/11/2022 ayas secara pribadi banyak sekali belajar dan bersapa silaturasa bersama sahabat daerah ujung timur sampai ujung barat indonesia yang hadir dan membawa pemikiran, harapan dan cinta untuk pmii lebih baik dimasa depan.
Dalam esensi inti dari penyelanggaran kegiatan ini ada suatu titik fokus yang ingin sedikit ayas kritisi dan angkat dalam tulisan ini Dengan kerangka judul “ Duka Kudeta Kritis Argumen oleh Kritis Sentimen “.
Sudah Bukan menjadi rahasia umum ada banyak kejadian baik dsn buruk dalam perhelatan sakral kali ini (muspimnas), dimulai dari awal pembukaan acara 17/11/2022 muncul suasana panas di tengah sejuknya kota tulungaggung yang menyebabkan terjadinya konflik anarkis, yang sempat menghambat jalanya pembukaan pada hari itu, dan berlanjut dari hari kehari hingga tulisan ini dibuat masih banyak sekali kejadian yang terjadi, yang dimana cenderung mengalir arus anarkis dalam sendi sendi jalannya dinamika kegiatan (Muspimnas) kali ini.
Ayas masih ingat betul Belajar dari salah satu narasi tokoh intelektual publik indonesia (Roki gerung) dalam acara launcing buku biografi Luhut Binsar Pandjaita, dia berkata
“ berkritiklah dengan basis argumen bukan sentimen, ucapkan argumenmu jangan simpan sentimen mu “ (RG)
Dari segala macam dinamika yang terjadi hari, ini terlepas dari baik buruk dan siapa yang benar dan siapa yang salah sudah seharusnya dan waktunya kita sebagai sahabat pmii untuk muhasabah diri, tentang apa yang seharusnya kita lakukan dan bagaimana sebaiknya cara kita untuk melakukanya, terkhusus tentang bagaimana cara kita berdealektika dan berdinamika dalam organisasi pergerkan kita ini.
Dalam paradigma Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia kita di ajarkan untuk menggunkan Paradigma “Kritis Transformatif”. Yang dimana dasar dari kritis yang seharusnya kita implemantasikan dalam diri kita adalah kritis yang bersifat membangun, akan tetapi mengaca dari dinamika perhelatan Musyawarah Pimpinan Nasional kali ini dan bahkan di setiap kegiatan di pmii kita sering lupa terkait esensi ini, sehingga terjadi kudeta paradigma nalar kritis kita yang seharusnya bersifat argumen yang membangun malah menjadi argumen yang sentimen.
Dari tulisan ini ayas berharap dan bercita tulisan ini bisa dibaca dan bisa menjadi titik muhasabah kita sebagai sahabat pmii dalam memanajemen konflik dalam organisasi yang bahwasanya berperang dialektika dengan argumen itu lebih anggun daripada berperang dialektika menggunakan sentimen apalagi hingga menimbulkan kejadian yang sebenarnya kita sama sama tidak menginginkanya.
(S.Jamal)